Ada lima aspek yang dapat menjadi modal utama dalam menopang penguatan
pembangunan negara maritim modern di Indonesia. Sepakat dengan Son Diamar
(2001), kelima aspek tersebut dapat menjadi pengamanan dan penguatan wilayah
maritim Republik Indonesia secara terpadu. Masing-masing aspek tersebut
memberikan pemahaman saling mendukung dan menguatkan.
Peneguhan pemahaman terhadap wawasan maritim yang menjadi pilar pertama
dapat dilakukan dengan menumbuhkan kembali kesadaran geografis. Kesadaran
geografis dapat dipahami dengan memberikan pengertian bahwa Indonesia adalah
bangsa yang menempati kepulauan, dengan memiliki sumber daya alam (SDA) yang
kaya tidak hanya di darat, tetapi juga di laut, dengan sistem nilai budaya
bahari yang terbuka dan egaliter.
Upaya membangun kembali kesadaran wawasan maritim ini dilakukan melalui
penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional, pendidikan dan latihan bagi
aparatur, dan sosialisasi melalui multimedia. Sosialisasi melalui multimedia
diharapkan dapat memenuhi tuntunan global terhadap sarana pembelajaran dan
pemahaman yang lebih mengena dan interaktif. Penyempurnaan kurikulum pendidikan
nasional dilakukan dengan penambahan materi-materi yang berorientasi pada
pengetahuan dan pemahaman terhadap laut dan perikanan Nusantara.
Selain itu, langkah taktis dengan sosialisasi wawasan lingkungan hidup dan
sistem nilai kosmopolitan serta proses kelembagaan masyarakat maritim yang self
regulating akan sangat membantu.
Pilar selanjutnya adalah dengan penegakan kedaulatan yang nyata di laut.
Pilar ini dapat dibangun dengan sistem pertahanan (defense), keamanan
(constabulary), dan pengendalian (civilian monitoring, control, and
surveillance), beserta penegakannya (enforcement) yang utuh dan
berkesinambungan. Aspek-aspek yang dikembangkan dari pilar ini meliputi
kejelasan fungsi, integrasi, kecukupan perangkat (keras, lunak, sumber daya
manusia/SDM), dan sistem serta prosedur yang memadai.
Pembangunan industri maritim sebagai pilar ketiga memberikan kontribusi
akan keberadaan negara maritim yang modern dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan iptek tersebut teraplikasikan melalui
penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dalam bidang industri maritim.
Kepentingan riset dan pengembangan iptek di bidang ini dapat diselaraskan
dengan UU No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Iptek dan juga UU Perikanan.
Adapun langkah nyata pengembangan dan pembangunan industri maritim dapat
dilakukan melalui, pertama, industri perikanan. Saat ini industri perikanan
memiliki kontribusi yang kecil terhadap pendapatan nasional dan kurang
menyejahterakan rakyat (nelayan tetap miskin), padahal potensi sektor ini
menjadi salah satu yang terkemuka sekurang-kurangnya di Asia.
Kedua, industri pelayaran. Tak dapat dimungkiri, industri pelayaran menjadi
pilihan utama angkutan ekspor-impor dan pilihan setengah dari angkutan domestik
dilayani kapal-kapal berbendera asing. Melalui industri pelayaran yang mandiri,
setidaknya Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri, melalui
penerapan asas cabotage dan pembangunan kembali armada niaga modern dan
tradisional.
Ketiga, industri pariwisata bahari. Sektor ini bukan hanya isapan jempol
belaka. Dengan adanya dukungan potensi yang dimiliki, tiap perairan Indonesia
berpeluang menjadi tujuan wisata bahari terbesar di dunia. Sebab, kawasan
maritim Indonesia merupakan bagian terbesar dari kawasan Aseanarean, yang jauh
lebih kaya dan memiliki pesona terbaik jika dibandingkan dengan kawasan lain
seperti Meditteranean dan Caribbean. Kekuatan ini dapat dikembangkan melalui
penyiapan kawasan, event development, dan deregulasi antara lain CAIT (Cruising
Approval for Indonesian Territory) dan CIPQ (custom, immigration, port
clearance, and quarantine), serta penyiapan masyarakat lokalnya sebagai
pemandu.
Kesuksesan pembangunan industri tersebut dapat dicapai dengan adanya
dukungan penuh melalui alokasi anggaran dan kemudahan pajak serta kredit,
otonomi daerah, dan keikutsertaan masyarakat setempat (stakeholders menjadi
shareholders), di mana pemerintah pusat menjadi fasilitator. Dengan demikian,
pada akhirnya dalam pembangunan industri maritim, sistem pengamatan dan
pengamanan seharusnya tidak menjadi penghalang, tetapi justru memudahkan dan
bahkan mengawal industri maritim agar tumbuh besar, sehingga dapat membiayai pengamanan.
Industri maritim juga harus mampu menyejahterakan rakyat banyak, dengan cara
menjadi milik rakyat banyak, yang dapat mengurangi potensi konflik strata dan
antarkelompok sosial.
Pilar keempat meletakkan pentingnya penataan ruang wilayah maritim. Kondisi
ini menginginkan terciptanya tata ruang yang terpadu antara daerah pesisir,
laut, dan pulau-pulau untuk menghasilkan sinergi dan keserasian
antardaerah/kawasan, antarsektor, dan antarstrata sosial, yang berwawasan
lingkungan. Penataan itu diupayakan melalui pemberlakuan sistem dan prosedur
pengelolaan kawasan dan pembangunan infrastruktur, di mana kewenangan ada pada
pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan mengikutsertakan masyarakat, yang
dikoordinasi oleh gubernur dan pemerintah pusat sebagai fasilitator.
Terakhir, penegakan sistem hukum maritim. Penegakan dapat dibangun dengan
ocean policy yang lengkap, mulai dari yang bersifat "payung"
(undang-undang pokok) sampai dengan yang bersifat operasional, baik hukum
publik maupun hukum perdata yang mengakomodasi hukum adat. Di samping itu,
sebagai negara maritim terbesar, Indonesia perlu memiliki sistem peradilan
(mahkamah) maritim.
Ocean policy menjadi sebuah pilihan wajib dan keharusan yang dilakukan
pemerintah dan semua komponen bangsa untuk mengedepankan sektor kelautan dalam
kebijakan pembangunan nasional. Dalam memformulasikan kebijakan tersebut masih
dilihat secara kesejarahan bahwa kemajuan peradaban bangsa Indonsia dibangun
dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung pada sumber daya pesisir dan
lautan. ***
OLEH: Prakoso Bhairawa Putera (LIPI)
Pusat
Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi –
» Kontak
: Prakoso Bhairawa Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar